Rute jalan-jalan saya kali ini adalah
menuju Bukit Batu di daerah desa Pakumbang, Kecamatan Sompak Kabupaten
Landak Propinsi Kalimantan Barat.
Untuk menuju bukit batu kita bisa melalui
Pontianak Kalimantan Barat, dari Bandara Supadio naik taxi ke terminal
Batu Layang Pontianak kira-kira 45 menit, lalu dari Batu Layang naik bus
jurusan Pakumbang dengan waktu tempuh sekitar 3-4 jam. Jika sudah
ketinggalan bus jurusan Pakumbang (karene memang sangat terbatas) bisa
naik bus jurusan Sintang atau Sanggau atau Jurusan Kuching Malaysia dan
turun di Sebadu. Desa Sebadu kira-kira 30 menit dari Makam Juang Mandor.
Setelah sampai di Sebadu bisa naik ojeg ke desa Pakumbang dengan jarak
tempuh sekitar 1 jam.
Di Pakumbang saya ketemu dengan
teman-teman saya, Firman, Adias Ramos, Sekundus, dan Sibar. Mereka
adalah pemuda-pemuda Pakumbang yang semuanya dari suku dayak
Kanayatn/Ahe. Firman dan Adias Ramos saat ini bekerja di perkebunan
Kelapa Sawit, Sekundus bekerja sebagai Guru SMP dan Sibar sebagai
petani. Yang unik keempat teman saya tadi semuanya mempunyai jabatan
yang sama yaitu anggota BPD (Badan Perwakilan Desa) Pakumbang.
Saya berangkat bersama dengan keempat
teman saya tadi selepas senja, dengan bekal beras, mi instan, ikan asin,
dan gula kopi kami berangkat menuju bukit batu di tengah gelapnya
malam. Untung saja alam bersahabat dengan munculnya sang bulan.
Perjalanan dari desa Pakumbang menuju bukit batu pertama melewati ladang
penduduk. Beberapa kali kami ketemu dengan babi hutan. Warga di sini
juga masih sering ketemu dengan pelanduk, dan kalau beruntung ketemu
pula dengan beruang. Kalau ular masih sangat banyak.
Bukit batu adalah sumber air bersih bagi
warga Pakumbang, sudah ada instalasi pipa dari bukit ini sampai ke desa
dengan panjang sekitar 4 km. Sayangnya banyak yang bocor, dan debit
airnya tidak dimanfaatkan secara maksimal padahal kualitas airnya sangat
bagus.
Dalam perjalanan ini kami putuskan untuk
menginap di setangah perjalanan. Kebetulan kami membuat camp darurat di
pinggir sungai yang airnya sangat jernih. Saya dan
Sibar membuat perapian, Firman, Ramos dan
Sekundus menyiapkan camp. Setelah api mulai nyalan dan camp selesai,
saya mulai memasak nasi dan mie instan, Firman dan Sekundus mencari
tengkuyung di sungai. Tengkuyung adalah keong yang ada di sungai. Banyak
sekali tengkuyung yang di dapat teman-teman ini. Setelah kami rebus
tengkuyung ini kami nikmati sebagai pendamping nasi dan mie instan
ditemani pula dengan alunan gemercik aliran sungai yang sangat bersih
dan suara-suara nokturnal, hewa-hewan malam.
Akhirnya jamuan malam kami tutup dengan
minum tuak, inilah minuman khas dayak. Kami meminum tetap dengan kontrol
diri masing-masing, jangan sampai alkhohol menghambat kemampuan fisik
kami. Tuak dalam jumlah yang tepat dapat membantu tubuh menjadi lebih
hangat dan yang paling penting nyamuk-nyamuk di hutan ini tidak mau
menggigit badan kami yang darahnya sudah tercampur dangan tuak.
Kami tidur dengan atap tenda darurat,
sleeping bag yang saya bawa dibuka untuk menjadi selimut kami berempat.
Tengkuyung dan tuak membuat kami tertidur pulas sampai subuh …..
Subuh kami melanjutkan perjalanan, dari
sungai ini kami menaiki bukit dengan kemiringan yang sangat ekstrim.
Harus pandai-pandai mencari pengangan akar atau batang pohon agar tidak
jatuh. Sekundus yang sudah menguasai medan di sini memang sengaja
mengambil jalan pintas sehingga kami berjalan tidak melewati jalan
normal tetapi potong kompas.
Sepanjang perjalanan kami banyak
menemukan gua, bahkan ada gua yang sangat indah dengan pemandangan ke
bawah yang sangat bagus. Kami semua kompak dan setuju bahwa gua ini
cocok dijadikan Gua Maria. Kenapa Gua Maria karena tempat yang sangat
tenang, pemandangan yang sangat indah, ada rute jalan yang sangat cocok
untuk rute jalan salib dan yang paling penting hampir 100% masyarakat di
sekitar sini adalah pemeluk agama Katholik Roma dengan Bunda Maria
sebagai pelindungnya.
Jam 8 pagi kami sampai di puncak bukit
batu, pemandangan dari sini sangat indah. Desa Pakumbang kelihatan
sangat jelas. Kami agak lama menikmati pemandangan di sini. Kami sangat
puas, karena sebelumnya beberapa warga kampung sempat sangsi kalau saya
bisa sampai di bukit batu dengan potong kompas. Bukit ini terkenal
angker dan jarang sekali orang di luar dayak ahe / kanayatn bisa sampai
puncak dengan potong kompas.
Setelah siang kami turung dengan cepat,
kami harus mengejar waktu agar dapat mengikuti Ibadah Minggu di Gereja
Katholik Pakumbang. Sampai di kampung banyak orang bertanya-tanya
tentang perjalanan kami, setelah saya tunjukkan foto saya di atas bukit
batu akhirnya masyarakat percaya dan salut atas keberhasilan kami sampai
di puncak bukit batu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar